Kamis, 02 Juli 2009

Simbolisasi dalam Komunikasi Sehari-hari

Sabtu pagi, pelajaran di kelas berlangsung, seorang anak perlahan mendekati gurunya. "Nyuwun sewu, Pak, kula nyuwun izin badhe dhateng wingking (Permisi, Pak, saya minta izin akan ke 'belakang')", ujarnya. Setelah diberi izin, barulah sang anak setengah berlari keluar kelas. Di sudut lain, ada yang berbisik pada temannya, "Nindi, aku njilih pensilmu, ya! (Nindi, aku pinjam pensil kamu, ya!)."
Beberapa jam kemudian, bel tanda usai sekolah berbunyi. Para murid keluar kelas dengan riang, setelah sebelumnya mengucap salam, mencium tangan bapak ibu guru, untuk pamit pulang. Peristiwa seperti itu sudah jarang terlihat lagi dalam suasana sekolah dan bermasyarakat kita.
Eling tata krama, unggah-ungguh, pekewuh, lan sak panunggalane. Hal-hal seperti itulah yang menjadi patokan yang berulang kali diingatkan oleh para orangtua kepada anaknya saat berbicara kepada orang lain. "Nak, jika hendak bicara kepada orang lain, terutama yang lebih tua, sopanlah. Jagalah tata krama di depan mereka." Nasihat semacam itu sangat akrab di telinga kita, dulu. Akan tetapi, belakangan "tetek bengek" semacam itu sudah luntur. Apakah budaya yang lebih "egaliter" dan "nasionalisme" telah mengeser unggah-ungguh dalam berkomunikasi di masyarakat kita?
Dalam beberapa hal, ke-egaliter-an merupakan sikap budaya yang baik. Semua orang sama kedudukannya untuk berpendapat. Semua orang mempunyai hak dan kepentingan masing-masing yang patut dihargai.
Sebagaimana termaktub dalam Pancasila. Sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab" dan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" senada dengan pelaksanaan asas egaliter dalam bermasyarakat. Keegaliteran dalam bermasyarakat pun tecermin dalam sila ke-4, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Dengan mengedepankan mekanisme musyawarah (rembuk), mempunyai arti, aspirasi dan kepentingan yang berbeda-beda akan tetap diperjuangkan. Semua hal tersebut akan membawa pada terwujudnya sila ke-3 Pancasila, "Persatuan Indonesia".
Harus dipahami, tata cara komunikasi yang ber-unggah-ungguh bukanlah sebagai pelestarian dari sebuah etnosentrisme. Menjadi sangat kontraproduktif dengan nilai Pancasila jika pemahaman mengenai unggah-ungguh, yang terwujudkan dengan bahasa tradisional Jawa kromo, hanya dipahami sebagai sentimen segelintir golongan yang berupaya mempertahankan budaya daerah.
Suatu keprihatinan tersendiri terhadap anggapan, unggah-ungguh dalam berperilaku merupakan milik satu budaya daerah tertentu saja. Unggah-ungguh mencakup segala tingkah laku kita dalam kehidupan. Anggapan mengenai etnosentrisme seperti itu muncul karena masyarakat tidak bisa membedakan antara komunikasi verbal dan nonverbal.
Status sosial dan moral
Hal yang juga dikhawatirkan adalah mulai memudarnya pengertian mengenai perbedaan status sosial dan status dalam konteks moral. Pandangan "egaliter" sempit yang muncul juga karena masyarakat tidak bisa menyikapi di antara keduanya.
Status sosial mempunyai arti status dalam hierarki kemasyarakatan, bisa disebut juga pengotak-ngotakan masyarakat karena "kelas" (strata). Permasalahan kaya-miskin, atasan-bawahan, maupun jabatan dan struktural lainnya, inilah yang sebenarnya kurang substansial dan harus disederajatkan sebagaimana dalam konsep egaliter. Pemakaian bahasa persatuan Indonesia pun antara lain dimaksudkan sebagai keegaliteran dalam komunikasi verbal menyangkut status sosial ini.
Akan tetapi, dalam status yang berkaitan, baik moral maupun spiritual dalam masyarakat, akan tidak pas jika menerapkan konsep "egaliter" (semua sama) seperti pada konteks status sosial tersebut. Guru, dosen, kiai, dan orangtua bagi para murid dan anak adalah suatu kedudukan dalam status moral. Di sinilah garis batas konsep egaliter dapat diterapkan.
Perbedaan cara membahasakan maksud dan diksi (pilihan kata) yang berbeda pada orang yang berbeda juga merupakan sebuah simbolisasi pengakuan. Dalam hal penggunaan bahasa yang lebih halus kepada guru, itu juga mempunyai makna bahwa telah terjadi proses pengakuan dan penghormatan atas kelebihan lawan bicara secara aspek moralnya. Sang murid telah mengakui guru itu adalah orang yang memberikan kita ilmu sehingga sudah seharusnya cara berbicara pun "berbeda". Pada contoh lain, adanya penghormatan kepada orangtua karena ketulusannya dan kiai karena spiritualitas keberagamaannya.
Jika ditilik dari beberapa penjelasan itu, cukup relevan semboyan Bapak Pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani" (di depan memberikan contoh yang baik, di tengah membangun ide dan prakarsa, dan mengikuti di belakang memberikan dukungan). Walaupun hal itu sering digunakan dalam membentuk semangat keguruan dan pendidikan, nilai yang tersirat dapat pula diartikan sebagai penjelasan status dalam konteks moral spiritual. Posisi depan, tengah, dan belakang pun bertindak sebagai supporting system antarposisi (dalam status moral).
Terjadi proses simbolisasi dalam komunikasi yang ditandai dengan pembedaan antara masing-masing lawan bicara. Simbolisasi komunikasi inilah yang bukan menjadi bagian yang dapat dipermasalahkan oleh konsep egaliter dan nasionalisme sebab sudah memasuki ranah humanisme. Menyangkut keegaliteran dan kenasionalisan, keduanya "hanya sampai" dalam tingkatan pemilihan jenis bahasa saja dan harus diyakini kedua konsep itu hanyalah usaha dalam menghilangkan semangat status sosial (strata) dan etnosentrisme. Hal ini ditandai oleh pengamalan Pancasila dan Sumpah Pemuda yang menjunjung tinggi bahasa Indonesia.
Peristiwa kecil di kelas di hari Sabtu pagi itu dapat dimaknai masih ada yang berkomunikasi dengan berpegang pada kesopanan (unggah-ungguh) murid-guru. Pemilihan bahasa, yang kebetulan memakai kromo alus (Jawa), dan mencium tangan pun, adalah contoh bagaimana komunikasi sebagai penghargaan pada status moral yang diwujudkan.
Sayfa Auliya Achidsti Koordinator Forum Memahami Capaian Hasil Budaya Indonesia Rumah Cahaya Yogyakarta. Sayfa Auliya Achidsti
Kompas, Kamis, 2 Juli 2009 | 11:16 WIB

Senin, 08 Juni 2009

Tekonologi, Komunikasi, dan Perubahan

Oleh Daniel Lenner

Daniel Lenner menguraikan betapa bebedanya pola perkembangang masyarakat yang terjadi di Barat dan Timur, Modernisasi Barat dimulai dengan urbanisasi, melek-hurup, dan partisipasi politik. Sedangkan di Timur, khususnya Negara-negara belum berkemban, prosenya berawal dari bangkitnya harapan, lalu frustasi dan pengambillalihan militer. Namun, terlepas dari berbagai perbedaan itu, komunikasi kata Lerner, akan semakin penting di masa-masa /mendatang

Tulisan ini melihat teknologi komunikasi baru dan dampaknya terhadap pembangunan pada dasawarsa lalu disertakan pula tinjauan singkat mengenai prospek teknologi komunikasi dawasarsa mendatang. Dua pola utama pembangunan dalam dua puluh lima tahun terakhir dikenal dengan sebutan : (1) percepatan sejarah ; (2) mobilisasi pinggiran. Karena banyak di antara kita sudah cukup mengenal kedua konsep tersebut, saya hanya akan mengulas kedua konsep tersebut secara singkat saja.

Pola Pembangunan : Timur Dan Barat

“Percepatan sejarah” merupakan konsep yang memikat para filsuf Eropa pada hamper sepajang Abad ke-19. Karena para filsuf itu berusaha menjelaskan transformasi yang berlangsung cepat dalam kehidupan mereka sendiri, akibat Revulasi Industri dan hal-hal yang menyertai. Bila Bangsa-bangsa Eropa saja dibingungkan oleh “percepatan”-nya, lantas seberapa besar yang terjadi di seluruh Negara kurang berkembang dalam 25 tahun ini, khususnya dalam satu dasawarsa terakhir ini. Dibandingkan dengan pengalaman kami, tempo perubahan social di Negara-negara maju di Eropa Barat dan Amerika Utara terasa berjalan lebih lamban.

Percepatan sejarah baik di Timur Maupun Barat, terutama dimulai atau diperkuat oleh adanya teknologi baru. Teknologi komunikasi memainkan peran penting dan mungkin dianggap sebagai salah satu “sector utama”-nya Rostovian (Rostow, 1960). Tabel 1 mengilustrasikan percepatan sejarah akibat teknologi komunikasi dalam lima abad terakhir.

Tabel 1:
Lima Revolusi Komunikasi

Teknologi Media Rentang waktu ke tahun
1975


Mesin cetak/Press Cetakan + 500 tahun
Kamera/Film Visual 100
Transmiter Audio 50
Transistor/Tabung gambar Audiovisual 20
Satelit Jaringan Dunia - 10
Pertama


Anda melihat pada kolom sebelah kanan di atas, interval waktu di antararevolusi-revolusi komunikasi bertambah pendek. Misalnya antara revolusi pertama dengan ditemukannya mesin cetak dan revolusi komunikasi berikutnya, memakan waktu lebih dari 400 tahun. Rakyat di Negara-negara kiurang berkembang mungkin akan bertanya apa yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa sepanjang empat abad setelah mesin cetak ditemukan.

Waktu selama 4 abad itu dibutuhkan untuk mengembangkan sebuah kelas social baru yang bisa memanfaatkan teknologi cetak tersebut. Proses tersebut tidak hanya berlangsung sampai abad ke-19 saat “pers murah” (penny press)- pranata penting pertama yang dihasilkan teknologi percetakan terbit pertama kali di inggris dan kemudian tersebar ke seantero Eropa. Ini merupakan “ mobilisasi pinggiran” di Barat, adakah ini berbeda dengan proses yang kini sedang berlangsung di timur?

Mengapa waktu yang dibutuhkan begitu panjang? Patut diingat, penduduk Eropa itu, seperti penduduk Negara-negara kurang berkembang sekarang, terutama tingal di desa-desa, bergerak dalam bidang pertanian, buta huruf dan miskin. Tentu dibutuhkan kelas masyarakat baru yang melek huruf yang dapat membaca surat kabar harian. Mereka juga perlu dimotivasi agar mau membelanjakan sedikit uangnya untuk membeli informasi dan bukan membeli kue dan minuman. Untuk menyempurnakan itu semua, pada tingkat tempo sejarah eropa ketika itu, dibutuhkan waktu sekitar empat abad. “Mobilisasi pinggiran” Barat jelas memperlihatkan transformasi bertahap dalam bidang kenegaraan dan kemasyarakatan pada sekitar 20 generasi untuk belajar dan menyesuaikan diri dengan cara-cara baru.

Bandingkan hal ini dengan situasi di Negara-negara kurang berkembang pada 25 tahun yang lalu. Penduduk yang tinggal pedesaan, bermata pencaharian utama bertani, buta huruf dan miskin seperti di Eropa lima abad lalu, tiba-tiba memasuki dunia yang di dalamnya beroperasi serentak media cetak, film, radio, televise dan kini satelit. “Mengejar keteringgalan” menjadi slogan mereka. Hal seperti ini meminta “mobilisasi pinggiran” yang seketika dengan transformasi dadakan pada satu generasi yang bahkan merupakan “percepatan sejarah”!

Salah satu efek komunikasi yang mempercepat tempo adalah media elektronika baru yang telah memungkinkan informasi bias diperoleh oleh mereka yang buta huruf. Karena itu, media elektronika yang baru itu “memobilisasi” pinggiran yang beberapa saat sebelumnya tidak berpartisipasi dalam segala kegiatan politik, menjadi terjun dan bersentuhan dengan urusan kemasyarakatan dan kebijakan public (yang dengan tepat diungkapkan dalam bahasa Perancis dengan la chose publique).

Semangat “populisme” yang menyertai gerakan kemerdekaan Negara-negara bekas jajahan menuntut teknologi baru tersebut bias langsung dimanfaatkan. Hal ini membawa akibat, untuk pertama kali dalam sejarah, kegiatan politik didominasi para pemilih buta huruf. Karena itu, sedikit mengherankan, bahwa model modernisasi Barat (apa yang disebut “paradigma lama” oleh Eisenstadt) mengalami transformasi yang signifikan.

Paradigma lama menggambarkan modernisasi barat sebagai sebuah rangkaian evolusioner yang memiliki empat tahapan : urbanisasi, melek-huruf, partisipasi media dan partisipasi politik. Evolusi ini, seperti telah kita lihat, berlangsung dalam lima abad dan sampai kini pun tetap berjalan maju. Partisipasi politik-dalam bentuk demokrasi pemilihan-menjadi tahapan tertinggi melalui evolusi sekuler masyarakat partisipan yang panjang.

Banyak yang tidak menyadari, adanya hak pilih bagi setiap orang pada masyarakat Barat merupakan hasil dari proses yang berlangsung cukup panjang. Para wanita dibeberapa Negara Barat baru mendapatkan hak pilih setelah perang Dunia II di sejumlah Negara Barat lain. Usia pemilih mulai diturunkan menjadi 18 tahun dibeberapa Negara maju hanya dalam beberapa tahun terakhir ini. “mobilisasi pinggiran” Barat, dengan lebih dari 500 tahun evolusi yang menyertainya, tetap berlanjut hingga kini.

Berbeda dengan, misalnya India, yang mencapai kemerdekaan tahun 1947, langsung memberikan hak pilih bagi setiap orang pada penduduknya yang sekitar 90% tinggal di pedesaan, bermata pencaharian bertani, buta huruf dan miskin. Ringkasnya, India tidak bisa mengikuti dengan segera tempo modernisasi Barat. Percepatan sejarah dijalankan sesuai dengan tuntutan melakukan mobilisasi seketika (instant) di India seperti juga di setiap masyarakat yang tergesa-gesa membangun masyarakatnya. Berlainan dengan evolusi Barat, dalam hal ini, keputusan terbaru yang me4nyatakan bahwa semua warga Negara Filipina yang berusia di atas 15 tahun akan turut memilih dalam referendum mendatang.

“mobilisasi pinggiran” menyaratkan adanya peningkatan mobilitas sejumlah individu. Di Barat peningkatan mobilitas ini mencakup mulai dari mobolitas fisik, melalui mobilitas social sampai ke mobilitas psikis. Hal tersebut dimulai dengan perpindahan secara fisik individu dan keluarganya ke kota-kota. Urbanisasi merupakan langkah pertama menuju mobilitas dengan industrialisasi. Dalam perpindahan dari lading pertanian ke pabrik, para pekerja di kota memutuskan rutinitas tradisional pertanian subsistem dalam unit kerja keluarga batih dan memasuki ekonomi moneter yang modern.

Begitu dia mendapat lebih banyak uang, maka status sosialnya meningkat ke jenjang yang lebih tinggi. Dia bersekolah dan belajar membaca; dia membelisurat kabar dan belajar kegiatan kemasyarakatan. Hal ini meminta dia untuk memilikimobilitas psikis (yang biasa kita namakan empati) yang merupakan sebuah mekanisme yang sangat dibutuhkan dalam cara hidup modern. Seperti ditunjukkan oleh David Riesman, para pekerja kota yang dating dari desa pinggiran menjadi pembeli yang selalu membayar kontan, pembaca surat kabar, pemberi pendapat dan pemilih dalam pemilu (Riesman, 1950). Mobilisasi di Barat dengan jelas menghasilkan jarring-jaring perilaku yang kondusif untuk melanjutkan pengembangan diri.

Hal seperti ini tidakn terjadi di Negara-negara kurang berkembang. Perhatikan sajalah proses urbanisasi yang merupakan factor sangat penting dalam mendorong modernisasi di Barat. Dalam paradigma lama ditetapkan bahwa “angka minimum” urbanisasi adalah sekitar 10% dari jumlah penduduk yang tinggal di kota berpenduduk di atas 50.000 jiwa. Dampaknya terhadap modernisasi dilukiskan sebagai berikut.

Hanya setelah sebuah wilayah mencapai tingkat urbanisasi 10% maka tingkat melek hurufnya akan meningkat secara signifikan. Itu sebabnya urbanisasi dan melek-huruf yang bertumbuh bersama dalam sebuah relasi monotonis langsung, sampai kedua hal itu mencapai 25% yang menjadi “jumlah optimum” urbanisasi. Setelah itu, tingkat melek huruf akan terus tumbuh tanpa dipengaruhi pertumbuhan kota (Lerner, 19-64 : 59)

Dalam model barat, tingkat urbanisasi antara 10%-25% diperlukan agar pranata pengembang modernisasi bias berjalan cukup “ekonomis” – misalnya, sekolah dan media cetak yang mendorong tingkat melek-huruf pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas. Di atas 25%, urbanisasi tidak akan lagi memainkan peranan yang menentukan karena sudah cukup banyak orang yang pindah ke kota untuk menjaga “ massa kritis” penduduk yang merupakan syarat untuk produksi dan konsumsi modern.

Pada kebanyakan Negara kurang berkembang selama seperempat abad, rangkaian tahap-tahap perkembangan di Barat dibalikkan. Sejalan dengan”ledekan penduduk” “ dan “revolusi media” berbondong-bondong orang datang ke kota. Di Amerika Latin, yang merupakan benua paling tinggi tingkat urbanisasi di dunia , lebih dari separuh penduduk tinggal di ibu-ibu kota kebanyakan Negara di kawasan itu. Di Asia Tenggara “Jutaan orang” pindah ke kota dalam dua dasawarsa terakhir ini. Namun, ini bukan urbanisasi dalam artian seperti terjadi di Barat Kebanyakan mereka yang pindah ke kota Negara-negara kurang berkembangan tidak memasuki kehidupan produktif di kota di Negara-negara kurang berkembang tidak memasuki kehidupan produktif di kota. Mereka menjadi menderita, menganggur atau setengah mengganggur di “pinggir” baru dan menjadi apa yang oleh Herbert Gants dinyatakan dengan tepat sebagai orang dusun kota”.

Dalam konteks ini, urbanisasi di Negara-negara kurang berkembang tidak dapat diharapkan memainkan paran memodernisasikan seperti terjadi di Barat (Schramm dan Ruggels dalam Lerner dan Scharamm, 1972). Sebaiknya, di banyak Negara kurang berkembang, Urbanisasi menjadi berdampak kontraproduktif terhadap pembangunan. Sedikit manfaat yang diperoleh untuk kegiatan pembangunan adalah adanya “kota-kota kaleng timah”, bidonvilles, ranchos, favellas, gecekondu yang menggerogoti kawasan perkotaan di seantero Negara kurang berkembang : Kini marilah kita melihat akibat-akibat dari pembalikan model Barat ini.

Rangkaian Di Negara Kurang Berkembang Tiga Tahapan

Kita semua tentu setuju bahwa pola pembangunan di satu Negara kurang berkembang dengan Negara kurang berkembang lainnya cukup berbeda. Selain itu, keanekaragaman “budaya-khas”. Negara-negara tersebut cukup penting untuk memahami dengan baik Negara kurang berkembang lainya cukup berbeda. Namun saya yakin, dalam hal ini ada “keteraturan” tersebut tampak dalam rangkaian tiga tahap berikut (1) Pengingkatan harapan (2) Peningkatan frustrasi dan (3) Pengambilalihan oleh militer.

Tahap 1 : Peningkatan Harapan

Kita semua sudah sering mendengar ungkapan “revulusi peningkatan harapan” dari Harlan Cleveland yang dipelopulerkan oleh Eugene Stanley. Pada awal masa perkembangannya, sekitar tahun 1950-an, “peningkatan harapan” hamper secara universal diterima sebagai hal yang baik-setidaknya oleh para pemikir, perencana dan pelaksana pembangunan yang dipengaruhi Barat dan para pemikir Raja Henry VIII bertahta.

Kepentingan kita mengingat kembali babakan sejarah tersebut bukan dalam artian sebagai orang yang menggandrungi masa silam melainnkan demi kepentingan analisis. Bila Etika Protestan tidak begitu diperhitungkan dalam “kemajuan” Barat, maka logika sederhana pun akan menyatakan bahwa tiadanya Etika Protestan itu tidak dapat diperhitungkan sebagai penyebab kegagalan “pembangunan” di timur. Penjelasan para pengkaji pembangunan Timur dan Barat mengenai kemrosotan pembangunan, gagal mengaitkan kerja keras pribadi dengan perolehan pribadi. Bila demikian adanya, maka itulah kekurangan mendasar dalam teori perencanaan dan penerapan pembangunan. Begitu pula halnya dengan a fortiori kegagalan komunikasi pembangunan.

Sejumlah pengkaji pembangunan menyalahkan “konsumerisme” sebagai penyebab kegagalan pembangunan. Penggunaan ungkapan yang berbau Amerika ini merupakan julukan Negara-negara kurang berkembang yang miskin yang bagi saya terlihat tidak adil digunakan oleh para pemikir kebijakan-dan, lebih penting lagi bagi para pengkaji pembangunan. Saya yakin, hasrat untuk memiliki hal-hal yang baik dalam kehidupan bersifat alami dan manusiawi.

Bahkan, “peningkatan harapan” di Negara-negara kurang berkembang lebih dari sekedar kebutuhan material yang menunjang hasrat “kualitas hidup”- informasi untuk peningkatan kemampuan diri, pendidikan bagi anak-anak. Karena itu saya memilih proposisi yang lebih subtil bahwa kegagalan Negara-negara kurang berkembang untuk mengaitkan penghargaan dengan kerja keras berdasarkan kenyataan bahwa Negara-negara kurang berkembang diarahkan – terima kasih atas pemakaian karisma dan komunikasi yang kontraproduktif – untuk meletakkan nilai-nilai konsumsi sebelum nilai-nilai produksi (khususnya produktivitas).

Begitu Negara-negara kurang berkembang menata-ulang babakan modernisasi Barat, maka Negara-negara tersebut menata ulang system nilai yang menyertai pembangunan Barat. Rakyat yang diberi hak suara setelah kemerdekaan, tanpa sebelumnya mesti dijalani kewajiban dan cobaan berat seperti pembayar pajak atau diuji kemampuan membacanya, biasanya mengharapkan bisa mendapatkan banyak barang-barang hasil modernitas tapi tanpa kerja keras.

Rakyat Negara-negara kurang berkembang orientasinya lebih banyak diarahkan pada konsumsi dibandingkan produksi karena pengalaman kemerdekaan mereka di bawah pemimpin kharismatik yang medistorsi terpaan pertama mereka pada kelezatan modernitas. Saya melihat kegagalan komunikasi pada rakyat yang dilakukan pemimpin kharismatik Negara-negara kurang berkembang sama seperti yang terjadi dengan film pada rakyat di Negara-negara maju. Kebijakan – dan isi – komunikasi benar-benar gagal membawa banyak negeri untuk meningkatkan produktivitas di depan “berhala produksi” yang mulai memberikan tempat terhormat pada “berhala konsumsi.”

Tahap 2 : Peningkatan frustrasi

Karena prestasi mereka – khususnya dalam pembangunan ekonomi tertinggal begitu jauh di belakang harapannya sendiri, maka kebanyakannya sendiri, maka kebanyakan rakyat Negara-negara kurang berkembang bergeser dari tahap peningkatan harapan ketahap peningkatan frustasi. Rakyat tidak bias mendapatkan apa yang telah diarahkan oleh pemimpin kharismatisnya karena kegagalan strategis komunikasi “ media massa”. Akibatnya kebutuhan : Ratio Perolehan (Want : Get Ratio”) menjadi sangat tidak seimbang dan rakyat Negara-negara kurang berkembang terus menderita dan mengalami frustasi mendalam.

Perhatikanlah apa yang ditekankan oleh pemimpin kharismatik mesir oelh pemimpin kharismatik Mesir Gamal Abdul Nasser mengenai pentingnya radio.

Memang benar sebagian besar bangsa kita masih buta huruf. Tapi secara politis hal itu kurang penting dibandingkan 20 tahun lalu. …… telah mengubah segalanya ….. Kini rakyat di dusun sangat terpencil sekalipun mendengar sangat terpencil sekalipun mendengar apa yang terjadi dimana saja dan membentuk pendapat mereka para peminpin tidak lagi bias memerintah seperti sebelumnya. Kita hidup didunia yang baru (Lerner 1964 : 214).

Nesser mengubah pernyataannya tersebut menjadi tindakan yang berskala besar. Dia mengalokasikan dalam jumlah yang cukup besar sumberdaya Mesir untuk memperluas Badan Penyiaran Negara Mesir (dan saluran Internasionalnya yang bernama “ Suara Arab” . Nasser membagikan secara gratis pesawat penerima radio pada kelompok kelompok masyarakat desa ini seantero Mesir dan tahan Arab lain. Dengan pemanfaatan radio dan hal-hal yang berkaitan dengan agen “agitprop” Leninis tahun 1902), Barisan Rakyat Revolusioner dan mengubah politik Mesir dalam tempi singkat (Lenin 1929).

Namun, harapan tinggi Nasser ini mengalami banyak kegagalan. Di banyak dusun, pesawt radio untuk kelompok pendengar itu disimpan di masjid dan pengoperasiannya diawasi oleh imam. Biasanya pesawat radio pun dimatikan bila acara-acara tersebut sudah berakhir. Agen-agen perubahan pollitik melaporkan kembali bahwa radio hanya memberi sedikit bahkan tidak ada sama sekali bantuannya untuk menciptakan partisipasi-partisipasi baru dunia politik. Barisan Rakyat Revolusioner berada di bawah pengaruh oomdhas, bangsawan tradisional desa. Dalam otobiografinya, Nasser menyadari beberapa kekurangan tersebut. Dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, dia mengakui digulingkan harapan-harapan politiknya. Dia wafat sebagai seorang yang frustasi.

Pemimpin kharismatis lainnya, Achmad Soekarno dari Indonesia, menjelaskan soal peningkatan frustasi ini bukan dalam artian kegagalan kebijakan komunikasinya sendiri, namun lebih karena memproyeksikan kesalahan pada pundak komunikasi asing. Tatkala berada di Hollywood, dia menuduh para tokoh perfileman telah jadi “kaum revolusioner:. Umumnya, para tokoh perfileman sabgat terkejut dengan hal itu – karena mereka dipanggil dengan nama-nama buruk namun jarang dengan sebutan revolusioner.

Soekarno menjelaskan bahwa mereka itu, “kaum revolusioner bahwa sadar” karena, hamper semua fim mereka, ada yang memperhatikan refrigator. Para penonton filem mereka, ada yang memperhatikan refrigator. Para Penonton film di Indonesia banar-benar penasaran terhadap kotak putih besar tersebut dan ingin tahu untuk apa benda itu.

Para penonton itu merasa takjub ketika diberitahukan bahwa kotak tersebut dipakai supaya makanan tetap segar dan, sejalan dengan mentalitas konsumen, mereka ingin memilikinya. Kata Soekarno, “jadi bias anda lihat di Negara yang panas seperti negeri saya, refrigator merupakan sebuah symbol revolusioner. Dalam dua jam setiap film yang anda buat, dapat mendorong hasrat memiliki lebih banyak refrigator dibandingkan dengan yang bisa dibuat Indonesia dalam 20 tahun.

Tahap 3: Pengambilalihan oleh Militer

Tahap frustasi kedua dengan demikian membawa, seperti para psikolog dari yale tak letih-letihnya mengatakan, timbulnya regresi maupun agresi. Keduanya sangat kontraproduktif terhadap pembangunan. Regresi mengakibatkan penyia-nyiaan sumberdaya langka. Contoh untuk ini adalah serangkaian kegagalan pemberantasan buta huruf yang oleh UNESCO dihaluskan dengan menyebut “melek huruf disfungsional. Dalam bahasa sehari-hari, hal ini berarti bahwa orang tidak bias membaca dan sumber daya yang bias digunakan untuk mengatasi buta huruf itu disia-siakan.

Reaksi lain terhadap frustasi yang disebut agresi merupakan kendala yang serius bagi pembagunnan berdasarkan pengalaman terakhir di Negara-negara kurang berkembang . Agresi tidak hanya menyiapka-nyiakan sumberdaya yang langka, tetapi seringkali disertai pula keinginan untuk menghancurkan. Saya perlu menguji lagi dengan sungguh-sungguh untuk mengetahui rincian ledakan besar tindakan agresif, baik dinegara-negara maju mauopun di Negara-negara kurang berkembang, pada dasawarsa lalu. Realksi agresif terhadap frustasi menjadi salah penyaluran, karena hal itu menggantikan kebutuhan ekonomi yang bias diterima dengan bentuk tuntutan politik yang tak berguna.

Apa yang dibutuhkan rakyat biasanya mesti dihasilkan oleh sector ekonomi yang ada pada setiap masyarakat. Sektor politik tidak dengan sendirinya merupakan penghasil barang dan jasa. Dalam tingkat terbaiknya, untuk masyarakat yang memiliki “Sektor public” yang besar, pemerintah terhadap alokasi sumberdayanya yang mampu memaksanakan pengaruh yang signifikan terhadap operasi produksi, Rezim politik Negara kurang berkembang terasa kurang menunjang sector ekonomi masyarakat sehingga gagal berproduksi secara memadai.

Agresi tersebut, seperti tampak dalam “politik jalanan”, membawa pada tahap ketiga sejarah Negara-negara kurang berkembang, yakni pengambilalihan oleh militer. Hal ini bahkan sudah seperti memiliki “keteraturan”. Seperti kita semua ketahui, banyak Negara di asia, Afrika, dan Amerika Latin sekarang ini berada di bawah rezim militer atau berada di bawah undang-undang darurat perang. Cukup banyak literature yang mengkaji keteraturan tersebut di seluruh Negara kurang berkembang.

Kebanyakan kita mengutuk dan bahkan memandang rendah rezim militer. Namun, kita tak usah putus asa. Pengalaman sejarah, baik di timur maupun barat, menunjukan bahwa rezim militer bersifat sementara. Koersi sebagai metode memerintah dengan sendirinya tidak bias bertahan lama. Tidak pernah ada rezim militer yang koersif yang mampu menindas aspirasi rakyatnya untuk selamanya.

Karena militer tidak diperlengkapi kemampuan yang lebih baik dari para politikus untuk mendorong produksi secara cepat, maka rezim militer itu mengandalkan diri pada penindasan bukan memenuhi kebutuhan rakyat-menggantungkan diri pada koersi dan bukannya charisma. Bila penindasan tersebut sudah tak tertahankan lagi, maka satu pemerintahan junta militer akan digantikan oleh junta militer lain. Sebagai contoh, Syria mengalami 27 kali pengambilalihan kekuasaan oleh militer pada dasawarsa pertama kemerdekaannya. Sedangkan di dunia, terjadi lebih dari 200 pengambilalihan kekuasaan oleh militersejak perang Dunia II.

Akhirnya penduduk mengatur dirinya dan bertindak guna mendapatkan setidaknya apa yang dibutuhkannya. Inilah proses yang oleh Gabriel Almond disebut “artikulasi kepentingan” dan agregasi kepentingan’ (Almond dan Coleman, 1960). Proses tersebut berlangsung dengan adanya kumulasi dan “agragasi” kepentingan kelompok-kelompoktersebut yang kemudian masuk menjadi instrument tindakan politik seperti sebuah “gerakan” atau “partai”.

Dalam sejarah kontemporer Negara-negara kurang berkembang, agregasi politik seperti itu seringkali diorganisasikan dan dipimpin oleh sebuah koalisi inovatif kalangan intelektual (termasuk wartawan dan mahasiswa), kader kader perwira yunior dan pekerja-pekerja industri urban baru (termasuk kaum penganggur). Dalam proses ini, komunikasi memainkan peran penting- sebuah peran yang dengan pasti meningkat dalam tahun-tahun mendatang.

Teknologi Komunikasi Dan Masa Depan Perubahan Sosial
Kita telah melihat bahwa komunikasi memainkan peran penting dalam membentuk dan salah membentuk pola-pola pembangunan pada 25 tahun lalu. Terutama sangatlah penting, seperti diilustarisikan dengan Nasser yang menggantungkan diri pada radio untuk “mobilisasi pinggiran “ revolusioner, untuk memperhatikan media massa yang lahirnakibat kemajuan teknologi elektronik. Dr. Scramm membahas soal ini dalam kometar awalnya secara singkat, “ Di Negara-negara maju, sepuluh tahun terakhir ini merupakan Dasawarsa Transistor.”

Dr. Scharamm selanjutnya menunjukan bahwa sepuluh tahun berikutnya lebih tepat dinamakan Dasawarsa Satelit. Satelit-satelit komunikasi dibuat guna menghasilkan “efek berganda” atas difusimedia massa, telekomunikasi dan transmisi data (system manajemen dengan data computer) dunia. Karena itu penting untuk dengan singkat melihat keadaan masa kini dengan melihat pada satelit komunikasi dan bebarapa “ benda dengan teknologi murah sebelum kita menilai kemungkinan pertumbuhannya pada decade mendatang dan memperkirkan dampaknya terhadap perubahan social di seantero dunia.

Keadaan Sekarang : Sebuah Tinjauan Singkat

Pada dasawarsa lalu langkah-langkah oleh Amerika Serikat (AS) dalam mengembangkan dan memanfaatkan “ Satelit komunikasi stansioner”. Satelit-satelit tersebut berada 22.300 mil diatas khatilistiwa. “Postur” ini memungkinkan satelit-satelit tersebut menjaga tingkat kecepatan orbitnya sehingga tetap meliputi permukaan bumi yang sama-karena itu, dalam hal ini,disebut “stasioner”.
Pemanfaatan yang cukup besar terhadap teknologi satelit ini dilakukan COMSAT (kependekan dari Communication Satellite), yang merupakan sebuah perusahaan otonom di Washington DC yang sahamnya dipegang oleh public dan kalangan swasta. Dalam upaya menginternasionalisasikan monopoli Amerika atas komunikasi satelit, COMSAT mendirikan INTELSAT (Kependekan dari International Telecommunication Satellite) yang sahamnya dipegang 60 kebangsaan, baik public maupun swasta, yang manajemen umumnya berada dibawah COMSAT.

Sistem INTELSAT beroperasi melalui 3 satelit yang “dipasang” di atas Samudra Pasifik, Hindia, dan Atlantik. Dengan system dasar jaringan atas-bawah, INTElSAT memungkinkan system komunikasi elektronik global yang seketika, simultan dan terus menerus yang merupakan tiga karaktersitik utama setiap system media massa Dengan demikian, INTELSAT menciptakan jaringan komunikasi dunia yang pertama. Ini merupakan ungkapan terbaik yang telah kita pakai sejak dulu kala. Bahkan sejak Proklamasi Kemerdekaan AS, dua abad silam, hal tersebut dinyatakan dengan istilah “kepatutan bagi pendapat umat manusia”. Namun, hal itu hanya diujudkan dengan INTELSAT, pada dasawarsa lalu, dengan teknologi komunikasi membuat jaringan komunikasi dunia pertama beroperasi menjadi kenyataan.

Inovasi Amerika yang kedua pada dasawarsa lalu, yang membawa akibat-akibat global, adalah serangkaian percobaan satelit komunikasi yang dikembangkan oleh Badan Aeronautika dan Antariksa Nasional (NASA – National Aeronautics and Space Agency). Produk pertama NASA adalah ATS-1 (Aplications technology Satellite) yang ditempatkan pada orbit stasioner di atas Pulau Christmas tahun 1966. Satelit tersebut pertama-tama dimanfaatkan untuk percobaan mengontrol cuaca, yang kemudian menjadi dasar untuk jenis percobaan lain pada tahun 1970. percobaan komunikasi pendidikan yang pertama dilakukan oleh universitas Hawaii.

Hal ini menghasilkan kompleks satelit yang menajubkan yang dikenal sebagai PEACESAT yang menghubungkan 10 terminal di seantero Pasifik Selatan dalam jaringan multilateral sehingga setiap terminal dapat menerima dan mengirim sinyal dari dan untuk untuk terminal lain yang masuk dalam jaringan tersebut. Sistem tersebut bekerja hamper menyerupai cara kerja “konferensi telepon”, yang memungkinkan masing-masing berbicara dan mendengarkan satu sama lain.

Jaringan PEACESAT memiliki kemampuan untuk trnmisi data (termasuk facsimile), suara (radio) dan telekomunikasi (telpon dan telegraf). Tahun lalu saya turut serta dalam konferensi radio PEACESAT mengenai cara mendidik bangsa Mikronosia untuk memberikan suaranya dalam sebuah plebisit penting mengenai pemerintahan sendiri. Saya mendengar suara rakyat dari segenap penjuru Pasifik Selatan. Bahkan saya terlibat dalam percakapan yang penuh kontroversi dengan seorang professor dari Fiji. Bersamaan dengan itu terlepas dari pengalaman yang menarik itu, muncul pertanyaan apa yang mungkin bias dilakukan satelit komunikasi untuk difusi informasi secara global dan difusi ide-ide yang membawa pada tindakan sfirmatif.

Tahun itu keyakinan terhadap PEACESAT sebagai teknologi komunikasi semakin kuat yang secara signifikan Dapat membantu Negara-negara kurang berkembang untuk “melompati” bebrapa abad perkembangan Barat. Pada bulan Februari dan Maret 1975, saya turut serta dalam mengoprasikan 6 terminal PEACEST mulai dari papua Nugini di Timur hingga Welington, Selandia Baru di Selatan.

Program-programnya termasuk “kuliah jarak jauh” mengenai pertahanan oleh seorang guru besar University of South Pasific yang melalui subsistem PEACESAT, kuliah jarak jauh tersebut “seminar”. Bagi seorang guru besar yang lebih dari 35 tahun mengajar, sudah mengetahui bila seminar jauh leih efektif dibandingkan kuliah dalam “pengajaran” teknologi tersebut menunjukan secara mengesankan manfaat konstruksi teknologi komunikasi untuk pembangunan Negara-negara kurang berkembang. Bahkan lebih mengenaskan lagi, baik bagi rakyat kebanyakan maupun para guru besar, adalah “konferensi” medis PEACESET seperti yang saya saksikan di Suva Noumea, Port Moresby dan Wellington-mengenai berjangkitnya demam berdarah di berbagai Negara Pasifik. Penting untuk dicatat bahwa pesan yang dipancarkan dari Saipan melalui terminal Wellington itu oleh Tahiti (yang karena kekerasan hati Prancis tidak turut serta dalam system (PEACEST), perlengkapan yang digunakan hendak dipinjam untuk menangani demam berdarah yang kemudian ditemoatkan di Fiji. Satelit percobaan lainnya yang serupa dengan ATS-1 mengambil tempatnya beberapa tahun lalu. Percobaan Alaska misalnya memfokuskan pada tangan mentrasmisikan dengan cepat diagnosis dan terapi medis antara pusat-pusat metropolitan dengan daerah pedalaman.

Percobaan terakhir di Negara-negara bagian Rocky Mountain yang memanfaatkan satelit NASA generasi keenam (ATS-6) mencakup berbagai kegiatan pendidikan. Efektifitas percobaan ini dalam konteks Amerika yang dinyatakan “kelebihan informasi”, tetap dievaluasi secara sistematis. Adapun hasil evaluasinya, percobaan ATS-6 ini di daratan Amerika membawa kita secara langsung untuk melihat prospek satelit dan kaitannya dengan teknologi komunikasi pada tahun-tahun mendatang.

Prospek: Sebuah Tinjauan Singkat

ATS-6 yang dikembangkan NASA langsung membawa pada dasawarsa mendatang karena satelit komunikasi ini ditempatkan di atas India pada tahun 1965 untuk serangkaian percobaan pendidikan. Selama beberapa tahun, saya menjadi konsultan untuk direktur yang memimpin percobaan di India itu seorang tokoh bernama Dr. Vikram Sarabhai. Di bawah kepemimpinan, saying, dia meninggal dalam usia muda tahun 1973, percobaan di India merupakan contoh yang amat bagus untuk proses “lompatan katak” yang dimungkinkan karena adanya teknologi komunikasi. Menghadapi berbagai kendala, “akselerasi sejarah” India sendiri dengan “mobilisasi pinggiran” yang seketika, dengan gemilang India melompati pengalaman panjang barat yang memang amat diperlukan negeri itu.

Apa yang terjadi di India itu, tampaknya juga berlangsung di banyak Negara berkembang lain pada dasawarsa mendatang . Brasil sudah menyatakan minatnya yang besar untuk memiliki satelit pendidikan yang serupa untuk digunakan sendiri. Setiap Negara dengan penduduk yang tersebar di pulau yang luas atau terserak diberbagai pulau dalam sebuah kepulauan, tampaknya membutuhkan – dan banyak yang tampaknya memiliki satelit seperti itu.

Satelit tersebut terutama sangat dibutuhkan untuk “lompatan kedepan” di Negara-negara yang belum menyediakan anggaran cukup besar dalam bidang pendidikan secara tradisional yang membutuhkan gedung sekolah, perlengkapan dan barang-barang lain yang berbiaya besar serta sejumlah besar personil yang terlatih dan pfofesional. Di Asia Tenggara, Negara-negara seperti Cina, Thailand, Indonesia, dan Filipina merupakan Negara yang sangat meminati satelit pendidikan.

Dalam waktu dekat ini, kegiatan pemerintah Amerika dalam bidang satelit komunikasi tampaknya akan menurun. ATS-7 kini sedang dibuat rancanganya di NASA, namun belum jelas kapan, atau lebih tepatnya di mana, diluncurkannya. Namun, kegiatan sector swasta Amerika untuk bidang ini tetap berjalan dan beberapa Negara kurang berkembang menunjukan kesediaan dalam membelanjakan uangnya untuk memperoleh percepatan dan mobilisasi “berganda” tersebut. Indonesiamemesan system satelit yang dibuat perusahaan konglomerat swasta yang dimiliki howard Hughes. Iran sudah “melihat-lihat”, Negara-negara maju lain sudah memasuki bidang persatelitan ini secara aktif. Kanada, Eropa Barat, Uni Soviet, jepang, dan Negara lain dipastikan bisa membuat satelitnya sendiri dalam beberapa dasawarsa mendatang.

Yang ada di balik satelit ini adalah teknologi komunikasi yang terus berkembang pesat setiap tahunnya. Sementara Negara-negara maju secara mendalam terlibat dalam inovasi elektronik, jepang mungkin sudah muncul sebagai pembuat peralatan komunikasi yang paling menonjol pada dasawarsa lalu. Sebagai missal, Sony sudah membuat pesawat televise bertenaga transistor yang dapat dipergunakan di desa-desa terpencil tanpamemerlukan pasokan tenaga listrik. Unit-unit pesawat televise ini dapat menayangkan siaran televisi, kineskop, videotape, kaset - yang sebenarnya merupakan inovasi audiovisual besar-besaran yang terwujudkan dalam 10 tahun terakhir ini.

Ini menunjukan bahwa perkembangan di masa depan tidak akan terbatas untuk bidang pendidikan belaka. Perhatiankita terhadap pembangunan pedesaan, tentu saja akan sangat terbantu dengan inovasi yang dilakukan Sony dan inovasi lain yang serupa. Tak pelak lagi, teknologi dan teknik baru akan turut meringankan kemiskinan dipedesaan melalui perbaikan praktik pertanian pada tahun-tahun mendatang.

Inovasi besar lainnya adalah munculnya jaringan yang menghubungkan satelit dengan computer. Di Hawaii, berbagai diskusi sudah dilakukan untuk membentuk “Perpustakaan Pasifik” dengan memanfaatkan jaringan PEACESAT yang dihubungkan dengan program computer local ALOHA dan system manajemen data lainnya yang telah dikembangkan di berbagai tempat. Kami telah mengkaji menghubungkan jaringan-jaringan yang ada secara rinci dalam konferensi yang diselenggarakan East West Communications Institute tahun 1976.

Keterkaitan satelit-komputer merupakan bidang inovasi yang berjalan sangat cepat, yang oleh pelopor dan pemikir bidang ini yakni Simon Ramo disebut “intelektonik”. Tipe manajemen data seperti ini dapat diterapkan pada hamper semua kegiatan kemasyarakatan, baik kaya maupun miskin, serta bias dipergunakan untuk kegiatan yang mencakup seluruh dunia. Efeknya akan segera terasa dalam bidang-bidang seperti transportasi, administrasi pemerintah, administrasi bisnis dan perbankan serta segala macam bentuk penelitian ilmiah. Pemenfaatan dipastikan akan cukup luas, mulai dari administrasi rumah sakit dan perawatan kesehatan sampai ke soal bangunan pencakar langit dan rumah tangga. Inilah apa yang bisa dipikirkan dalam perkembangan tersebut bagi kita dan masyarakat tempat kita berdiam ?

Restopek Dan Prospek

Kita teleh melihat bahwa perkembangan komunikasi pada dasawarsa lalu tidak sepenuhnya memberi rahmat. Dalam beberapa hal, perkembangan ini mengganggu kehidupan pribadi dengan menciptakan harapan yang tidak mengganggu kehidupan pribadi dengan menciptakan harapan yang tidak bisa dipenuhi. Peningkatan frustasi pun terjadi, yang dalam beberapa hal, karena tidak seimbangnya perbandingan kebutuhan : perolehan sebangai penorong tumbangnya rezim politik dan mengganggu perkembangan ekonomi.

Kita mesti berhati-hati menilai dampak umum teknologi komunikasi pada dasawarsa mendatang Sungguh pun dalam hal ini tidak ada alas an untuk sinisme, tapi tetap ada alas an untuk menginformasikan ralisme –mungkin dengan bumbu skepptisisme. Ini berarti, kita hendaknya tidak mengharapkan teknologi yang ditemukan pada sepuluh tahun mendatang akan secara efisin dan wajar masuk kedalam system social kita pada waktu tersebut. Kemampuan individu untuk mencipta, dalam dunia kontemporer, selalu lebih cepat dari kemampuan masyarakat untuk menyerap ciptaan tersebut kemampuan Negara-negara kurang berkembang untuk menyerap telah terbukti tidak menentu.

Tak diragukan lagi, terus berlanjutnya ketimbangan dan frustasi, ketidakseimbangan dan kekacauan merupakan akibat bertambah cepatnya tempo inovasi teknologi. Namun, bila harapan kita relative bersifat sedang-sedang saja untuk jangka pendek dan tetap memiliki berspektif yang jauh kemuka maka kita mungkin akan lebih percaya bahwa teknologi baru sebenarnya bisa meningkatkan kualitas hidup. Perspektif serupa diperlihatkan lebih dari 25 tahun lalu oleh Israel yang memutuskan untuk menangguhkan pendirian stasiun televise sekitar 15 tahun sampai teknologinya siap tersedia untuk pemerintah. Perspektif serupa diperlihatkan pada dasawarsa lalu dengan keputusan Amerika menangguhkan pembuatan pesawat angkut Supersonik untuk keperluan sipil, sekalipun teknologinya sudah tersedia. Ini merupakan keputusan yang serupa mendahulukan kebijakan yang rasional tanpa mengabaikan kemajuan inovasi teknologi.

Perspektif serupa benar-benar dibutuhkan Negara-negara kurang berkembang bila Negara-negara tersebut bermaksud menyesuaikan dengan ‘percepatan sejarah’ dan ‘mobilisasi pinggiran’ yang sangat besar yang masuk ke dalam tujuan yang telah ditentukan. Argumen Prof. Harry Oshima atas strategi padat-karya merupakan conttoh yang baikmengenai perspektif kebijakan seperti itu.

Strategi tersebut akan menurunkan laju perpindahan dari desa sehingga membantu menghentikan meluasnya pengangguran dan kemiskinan di kota. Sorotan atas pembangunan pedesaan akan meningkatkan kesempatan kerja di bidang pertanian dan agroindustri, yang membawa akibat bertambahnya kebutuhan pasokan makanan di daerah yang miskin dan padat penduduk. Kecenderungan umum semakin melambatnya perubahan teknologi mengakibatkan akan semakin diperkuatnya stabilitas social di negara- Negara kurang berkembang. Kemampuan Negara-negara kurang berkembang. Kemampuan Negara-negara tersebut yang membutuhkan waktu lama akan menyerap inovasi yang kemudian menjadi pranata yang tahan lama akan secara bertahap diperbaiki.

Pemikiran seperti itu dibutuhkan agar Negara-negara kurang berkembang bisa dengan baik membentuk kebijakan komunikasinya. Dalam beberapa tahun terakhir ini, para sarjana komunikasi mulai berbicara mengenao “akhir imperaltif teknologis”. Seperti ditunjuk sebuah survey mengenai pokok pikiran yang disajikan dalam berbagai jurnal dan konferensi, tampak adanya consensus luas yang menyatakan bahwa teknologi komunikasi hendaknya dijadikan abdi bukan tuan dalam kebijakan komunikasi.

Jelasnya, kebijakan Negara-negara kurang berkembang akan berusaha mencari berkembang akan berusaha mencari “keseimbangan dinamis”-pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kehidupan dalam kerangka stabilitas nasional . Namun persoalan pokok setiap kebijakan nasional, baik di Negara maju maupun kurang berkembang,pada zaman kita sekarang ini mesti beroprasi dalam konteks global. Karena kita kini menjadi satu dunia.

Permasalahan besar untuk dasawarsa mendatang adalah apakah jaringan komunikasi dunia yang baru akan memberi sumbangan yang baru akan memberikan sumbangan yang signifikan atau tidak bagi perdamaian dan kerja sana internasional. Sekali lagi perspektif relistik akan bertemu dengan skeptisisme. Kita mulai membicarakan mengenai kerja sama internasional selama beberapa dasawarsa tanpa beranjak dengan memadai untuk mewujudkan hal tersebut dalam kehidupan politik yang actual. Sepuluh tahun lalu, Marshall McLuhan berbicara mengenai “dusun global” namun kita tahu hal itu belum menjadi kenyataan. Atau hal itu tampaknya akan terwujud pada dasawarsa mendatang.

Mengkaji persoalan satelit siaran langsung. Dalam soal inilah Amerika Serikat menderita kekalahan yang menyakitkan baik di PBB maupun UNESCO. Tidaklah pada tempatnya untuk mendisusikan pro dan kontra mengenai pandangan Amerika atas soal satelit siaran langsung ini disini (sekalipun saya mengakui bahwa saya menemukan lebih banyak kekurangan dibandingkan kelebihan atas pandangan Amerika tersebut).
Hal yang relepen untuk diungkapkan disini adalah bersatunya 101 negara melawan Amerika untuk menyatakan ketidakpercayaannya dan bahkan ketakutannya-terhadap satelit siaran langsung dan setiap kekuasaan yang disertai dengan kemampuan teknologi untuk menyelenggarakan hal itu, Apabila kecemasan sudah begitu meluas, tentu hal tersebut akan jauh melebihi kemampuan teknologi untuk menciptakan komunikasi dunia yang membentuk kerja sama internasional. Hal yang “lebih banyak “ dibutuhkan mesti dibuat oleh para sarjana dan mereka yang membuat dan menjalankan public di Negara dan daerah kita.

Namun, kita semua sudah cukup berlapang dada karena ada beberapa ‘ kisah sukses” di Negara-negara kurang berkembang dalam sepuluh tahun terakhir. Untuk memberi warna pada dasawarsa mendatang, para pakar komunikasi secara khusus memainkan peranan dalam memperbaiki kemampuan masyarakat kita menyerap teknologi baru. Marilah kita berharap peran yang mesti kitamainkan itu bisa dilaksanakan dengan baik.