Sabtu pagi, pelajaran di kelas berlangsung, seorang anak perlahan mendekati gurunya. "Nyuwun sewu, Pak, kula nyuwun izin badhe dhateng wingking (Permisi, Pak, saya minta izin akan ke 'belakang')", ujarnya. Setelah diberi izin, barulah sang anak setengah berlari keluar kelas. Di sudut lain, ada yang berbisik pada temannya, "Nindi, aku njilih pensilmu, ya! (Nindi, aku pinjam pensil kamu, ya!)."
Beberapa jam kemudian, bel tanda usai sekolah berbunyi. Para murid keluar kelas dengan riang, setelah sebelumnya mengucap salam, mencium tangan bapak ibu guru, untuk pamit pulang. Peristiwa seperti itu sudah jarang terlihat lagi dalam suasana sekolah dan bermasyarakat kita.
Eling tata krama, unggah-ungguh, pekewuh, lan sak panunggalane. Hal-hal seperti itulah yang menjadi patokan yang berulang kali diingatkan oleh para orangtua kepada anaknya saat berbicara kepada orang lain. "Nak, jika hendak bicara kepada orang lain, terutama yang lebih tua, sopanlah. Jagalah tata krama di depan mereka." Nasihat semacam itu sangat akrab di telinga kita, dulu. Akan tetapi, belakangan "tetek bengek" semacam itu sudah luntur. Apakah budaya yang lebih "egaliter" dan "nasionalisme" telah mengeser unggah-ungguh dalam berkomunikasi di masyarakat kita?
Dalam beberapa hal, ke-egaliter-an merupakan sikap budaya yang baik. Semua orang sama kedudukannya untuk berpendapat. Semua orang mempunyai hak dan kepentingan masing-masing yang patut dihargai.
Sebagaimana termaktub dalam Pancasila. Sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab" dan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" senada dengan pelaksanaan asas egaliter dalam bermasyarakat. Keegaliteran dalam bermasyarakat pun tecermin dalam sila ke-4, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Dengan mengedepankan mekanisme musyawarah (rembuk), mempunyai arti, aspirasi dan kepentingan yang berbeda-beda akan tetap diperjuangkan. Semua hal tersebut akan membawa pada terwujudnya sila ke-3 Pancasila, "Persatuan Indonesia".
Harus dipahami, tata cara komunikasi yang ber-unggah-ungguh bukanlah sebagai pelestarian dari sebuah etnosentrisme. Menjadi sangat kontraproduktif dengan nilai Pancasila jika pemahaman mengenai unggah-ungguh, yang terwujudkan dengan bahasa tradisional Jawa kromo, hanya dipahami sebagai sentimen segelintir golongan yang berupaya mempertahankan budaya daerah.
Suatu keprihatinan tersendiri terhadap anggapan, unggah-ungguh dalam berperilaku merupakan milik satu budaya daerah tertentu saja. Unggah-ungguh mencakup segala tingkah laku kita dalam kehidupan. Anggapan mengenai etnosentrisme seperti itu muncul karena masyarakat tidak bisa membedakan antara komunikasi verbal dan nonverbal.
Status sosial dan moral
Hal yang juga dikhawatirkan adalah mulai memudarnya pengertian mengenai perbedaan status sosial dan status dalam konteks moral. Pandangan "egaliter" sempit yang muncul juga karena masyarakat tidak bisa menyikapi di antara keduanya.
Status sosial mempunyai arti status dalam hierarki kemasyarakatan, bisa disebut juga pengotak-ngotakan masyarakat karena "kelas" (strata). Permasalahan kaya-miskin, atasan-bawahan, maupun jabatan dan struktural lainnya, inilah yang sebenarnya kurang substansial dan harus disederajatkan sebagaimana dalam konsep egaliter. Pemakaian bahasa persatuan Indonesia pun antara lain dimaksudkan sebagai keegaliteran dalam komunikasi verbal menyangkut status sosial ini.
Akan tetapi, dalam status yang berkaitan, baik moral maupun spiritual dalam masyarakat, akan tidak pas jika menerapkan konsep "egaliter" (semua sama) seperti pada konteks status sosial tersebut. Guru, dosen, kiai, dan orangtua bagi para murid dan anak adalah suatu kedudukan dalam status moral. Di sinilah garis batas konsep egaliter dapat diterapkan.
Perbedaan cara membahasakan maksud dan diksi (pilihan kata) yang berbeda pada orang yang berbeda juga merupakan sebuah simbolisasi pengakuan. Dalam hal penggunaan bahasa yang lebih halus kepada guru, itu juga mempunyai makna bahwa telah terjadi proses pengakuan dan penghormatan atas kelebihan lawan bicara secara aspek moralnya. Sang murid telah mengakui guru itu adalah orang yang memberikan kita ilmu sehingga sudah seharusnya cara berbicara pun "berbeda". Pada contoh lain, adanya penghormatan kepada orangtua karena ketulusannya dan kiai karena spiritualitas keberagamaannya.
Jika ditilik dari beberapa penjelasan itu, cukup relevan semboyan Bapak Pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani" (di depan memberikan contoh yang baik, di tengah membangun ide dan prakarsa, dan mengikuti di belakang memberikan dukungan). Walaupun hal itu sering digunakan dalam membentuk semangat keguruan dan pendidikan, nilai yang tersirat dapat pula diartikan sebagai penjelasan status dalam konteks moral spiritual. Posisi depan, tengah, dan belakang pun bertindak sebagai supporting system antarposisi (dalam status moral).
Terjadi proses simbolisasi dalam komunikasi yang ditandai dengan pembedaan antara masing-masing lawan bicara. Simbolisasi komunikasi inilah yang bukan menjadi bagian yang dapat dipermasalahkan oleh konsep egaliter dan nasionalisme sebab sudah memasuki ranah humanisme. Menyangkut keegaliteran dan kenasionalisan, keduanya "hanya sampai" dalam tingkatan pemilihan jenis bahasa saja dan harus diyakini kedua konsep itu hanyalah usaha dalam menghilangkan semangat status sosial (strata) dan etnosentrisme. Hal ini ditandai oleh pengamalan Pancasila dan Sumpah Pemuda yang menjunjung tinggi bahasa Indonesia.
Peristiwa kecil di kelas di hari Sabtu pagi itu dapat dimaknai masih ada yang berkomunikasi dengan berpegang pada kesopanan (unggah-ungguh) murid-guru. Pemilihan bahasa, yang kebetulan memakai kromo alus (Jawa), dan mencium tangan pun, adalah contoh bagaimana komunikasi sebagai penghargaan pada status moral yang diwujudkan.
Sayfa Auliya Achidsti Koordinator Forum Memahami Capaian Hasil Budaya Indonesia Rumah Cahaya Yogyakarta. Sayfa Auliya Achidsti
Kompas, Kamis, 2 Juli 2009 | 11:16 WIB
Kamis, 02 Juli 2009
Langganan:
Postingan (Atom)